Kamis, 23 Januari 2014

Catatan Harian Cenia : Kisah Seorang Gadis Sastra








Malam itu aku sedang duduk dalam dekapan kasur sambil menikmati lembaran-lembaran kalimat yang terakumulasi dalam sebuah buku. Memahaminya satu persatu kata sembari mengoreksi apakah ada yang salah di dalamnya dari segi penulisan dan segi bahasa. Ah ternyata ada, semua yang tercipta oleh manusia ternyata tidak memiliki sifat sempurna sekalinya ada mungkin ada sedikit cacat didalamnya. Aku  mendapatkan kata “rekonstruksi ulang” dalam buku itu. Bukankah re adalah kembali dan konstruksi adalah pembangunan? Lalu mengapa mereka menambahkan kata ulang? Aku tidak tahu mungkin aku bisa memakluminya karena mereka manusia. Sama sepertiku yang selalu salah dan tidak dapat membuat segalanya sempurna. Bagiku membuat segalanya yang terbaik merupakan sesuatu yang lebih dari cukup.
Kembali ke pokok pembicaraanku yang melenceng tadi. Abaikan saja titik cacat penulisan buku tersebut mungkin para pembaca tidak akan pernah manyadarinya, sebetulnya itu merupakan karya sastra yang sangat bagus dan layak dibaca oleh banyak orang. Dan pada buku itu, kuselami apa saja yang terjadi dan dimana peristiwa itu terjadi ah sepertinya aku sudah tenggelam dalam dikotomi yang telah menyatu  dan membawakan suasana seakan-akan aku ada di sana. Aku memelintir lambang gadis sastra milikku: rambut kepang. Yap rambut kepang merupakan lambang seorang gadis sastra bukan?
Sang seniman sastra itu kurasa memang memiliki kapabilitas dan loyalitas dalam racikan kalimat-kalimat yang tersusun disertai analisisnya yang objektif sehingga membuatku rela bergadang untuk membaca buku itu hingga habis.
Selanjutnya suasana pun kemudian hening, seperti ada yang merasuki ku dan kembali mengingat-ingat sesuatu mengenai prinsipku tentang menilai sebuah karya sastra. Anggaplah buku itu seperti makanan yang lezat! Bayangkan apa rasanya bayangkan apa yang kau rasakan. Aku pun merobek kertas yang terdapat di halaman paling belakang buku. Dan aku memasukan potongan kertas kecil itu kedalam mulutku dan rasanya memang serasa berada di tempat yang menjadi seting di dalam cerita tersebut, rasanya lezat. Tak pernah kubayangkan rasanya bisa selezat ini. Apakah mungkin aku memang dilahirkan untuk menjadi seorang gadis sastra yang bisa merasakan setiap lembar lewat beberapa indra: pengelihatan dan pengecap. Lihatlah semua buku bacaanku! Aku telan mencicipinya semua dan telah aku pahami seluk beluknya.
Mungkin saja, mungkin kalian akan mengira bahwa hal yang kulakukan tadi adalah suatu yang irasional tapi buatku ini memang berbeda. Untukku pecinta dunia seni tulis menulis itu beda. Setiap penulisnya memiliki kemampuan pedagogik dan menyampaikan sesuatu kepada pembaca dia menyampaikan imajinasi atau suatu fakta tentang realitas kepada pembaca yang berisi pesan-pesan moral serta pemicu semangat hidup yang terkandung dalam kalimat-kalimat yang menjelma menjadi suatu seni sastra yang sangat indah.

Kalimat adalah rangkaian pikiranmu dan hatimu. Kalimat adalah simfoni tak bernada. Merangkai kalimat bagaikan menahtakan berlian di mahkota. Kau teliti setiap susunannya, spektrumnya, tidak ada yang kau lewatkan sampai akhirnya kau temukan komposisi yang paling menawan. Curilah mahkota itu, wahai pencuri, karena kamu tidak mampu membuatnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar