Malam itu aku sedang duduk dalam dekapan kasur sambil
menikmati lembaran-lembaran kalimat yang terakumulasi dalam sebuah buku.
Memahaminya satu persatu kata sembari mengoreksi apakah ada yang salah di
dalamnya dari segi penulisan dan segi bahasa. Ah ternyata ada, semua yang
tercipta oleh manusia ternyata tidak memiliki sifat sempurna sekalinya ada
mungkin ada sedikit cacat didalamnya. Aku
mendapatkan kata “rekonstruksi ulang” dalam buku itu. Bukankah re adalah
kembali dan konstruksi adalah pembangunan? Lalu mengapa mereka menambahkan kata
ulang? Aku tidak tahu mungkin aku bisa memakluminya karena mereka manusia. Sama
sepertiku yang selalu salah dan tidak dapat membuat segalanya sempurna. Bagiku
membuat segalanya yang terbaik merupakan sesuatu yang lebih dari cukup.
Kembali ke pokok pembicaraanku yang melenceng tadi. Abaikan
saja titik cacat penulisan buku tersebut mungkin para pembaca tidak akan pernah
manyadarinya, sebetulnya itu merupakan karya sastra yang sangat bagus dan layak
dibaca oleh banyak orang. Dan pada buku itu, kuselami apa saja yang terjadi dan
dimana peristiwa itu terjadi ah sepertinya aku sudah tenggelam dalam dikotomi
yang telah menyatu dan membawakan
suasana seakan-akan aku ada di sana. Aku memelintir lambang gadis sastra
milikku: rambut kepang. Yap rambut kepang merupakan lambang seorang gadis
sastra bukan?
Sang seniman sastra itu kurasa memang memiliki kapabilitas
dan loyalitas dalam racikan kalimat-kalimat yang tersusun disertai analisisnya
yang objektif sehingga membuatku rela bergadang untuk membaca buku itu hingga
habis.
Selanjutnya suasana pun kemudian hening, seperti ada yang
merasuki ku dan kembali mengingat-ingat sesuatu mengenai prinsipku tentang
menilai sebuah karya sastra. Anggaplah buku itu seperti makanan yang lezat! Bayangkan
apa rasanya bayangkan apa yang kau rasakan. Aku pun merobek kertas yang
terdapat di halaman paling belakang buku. Dan aku memasukan potongan kertas
kecil itu kedalam mulutku dan rasanya memang serasa berada di tempat yang
menjadi seting di dalam cerita tersebut, rasanya lezat. Tak pernah kubayangkan
rasanya bisa selezat ini. Apakah mungkin aku memang dilahirkan untuk menjadi
seorang gadis sastra yang bisa merasakan setiap lembar lewat beberapa indra:
pengelihatan dan pengecap. Lihatlah semua buku bacaanku! Aku telan mencicipinya
semua dan telah aku pahami seluk beluknya.
Mungkin saja, mungkin kalian akan mengira bahwa hal yang
kulakukan tadi adalah suatu yang irasional tapi buatku ini memang berbeda.
Untukku pecinta dunia seni tulis menulis itu beda. Setiap penulisnya memiliki
kemampuan pedagogik dan menyampaikan sesuatu kepada pembaca dia menyampaikan
imajinasi atau suatu fakta tentang realitas kepada pembaca yang berisi
pesan-pesan moral serta pemicu semangat hidup yang terkandung dalam kalimat-kalimat
yang menjelma menjadi suatu seni sastra yang sangat indah.
Kalimat adalah rangkaian
pikiranmu dan hatimu. Kalimat adalah simfoni tak bernada. Merangkai kalimat
bagaikan menahtakan berlian di mahkota. Kau teliti setiap susunannya,
spektrumnya, tidak ada yang kau lewatkan sampai akhirnya kau temukan komposisi
yang paling menawan. Curilah mahkota itu, wahai pencuri, karena kamu tidak
mampu membuatnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar