Sabtu, 19 Oktober 2013

Catatan Harian Cenia : Hujan



Ketika itu aku sedang dihadapkan oleh suatu pilihan yang dilematis, aku sendiri nggak mengerti apa yang dikatakan mereka untuk itu. Aku rasa ini ada kaitannya denganku, terhadap impian dan cita-citaku. Pertama apa yang harus aku pilih antara Matahari dan Hujan. Aku berpihak pada matahari sedangkan yang lain merekomendasikan hujan. Aku memilih matahari karena aku memang menginginkan matahari, aku sudah susah payah untuk menggapai matahari masa iya harus aku lepaskan matahari untuk mengejar sang hujan?
Mesin waktu! Aku butuh Mesin Waktu untuk memundurkan waktu agar aku tidak terkait dengan pembicaraan seperti ini!
Aku gengsi untuk memilih sang hujan. Mereka bilang tidak selamanya berada di pihak matahari itu menyenangkan, meskipun matahari bersinar terang lama-kelamaan akan membakar dirimu. Pilihlah apa yang berada dalam semangatmu. Walaupun bakatku berada pada hujan tapi aku lebih memilih matahari. Tapi toh ternyata setelah aku renungkan tidak terlalu buruk.
Pikiranku apa yang akan terjadi setelah hujan merubah pola pikir dan pendapatku tentang sang hujan, setelah hujan, menurut mereka akan ada pelangi yang indah dan menghiasi angkasa dan mengundang decak kagum bagi sepasang bola mata yagn memandangnya dan aku putuskan untuk berpindah pihak dan kini aku telah berada di pihak sang hujan. Aku yakin ini adalah keputusanku, meskipun didahului oleh air mata yang mengalir pada mataku aku yakin ini adalah suatu permulaan.
Berpihak pada hujan tidak terlalu buruk, aku bisa menagis tanpa ada yang melihatku. Sedangkan saat aku berpihak pada matahari, semuanya terekspos jelas kalau aku sedang menangis .

Aku memandangi hujan yang terjatuh dari kediaman Tuhan.
Mengapa hujan itu begitu hening? Mereka hanya mempertegas kesunyian pada lorong-lorong hidup.
Tahun-tahun itu lewat dan bergumam melalui celah-celah hujan yang berdesir jatuh dari tempat yang asing.
Tempat yang ingin sekali kukunjungi.
Hari itu dingin. Seperti hari-hari sebelumnya jika hujan datang dan menyapa setiap kelelahan yang ditukarkan setiap napas.
Aku mendesah.
Hujan itu masih mengalir. Tanpa kusadari, aku telah berada di luar, begitu dekat dengan keberadan sang alam yang tengah bernyanyi dalam keheningan waktu.
Hujan itu begitu deras. Ia menyimpan berjuta-juta memori yang terlepas dan terhanyut dari jiwa-jiwa yang terhilang.
Mengapa hujan itu begitu hening?
Aku tidak pernah tahu.
Aku melihat kakiku melangkah dalam kesunyian jaman. Mendekati sang hujan yang masih merangkak merampasi bulir-bulir impian yang diterbangkan angin.
Begitu banyak kepedihan, begitu banyak kesakitan.
Aku tidak pernah memahaminya.
Kemudian aku dan hujan itu saling menyapa. Kami berjabat tangan dan saling menukar senyum.
Walau senyum yang ada di wajahku bukanlah sebuah garis yang menyenangkan, tapi hujan itu berkata ia menyukaiku.
Aku tiba-tiba juga menyukai sang hujan.
Kami bercengkrama.
Waktu yang dingin bergayut lembut.
Mengalir melalui lorong-lorong yang abadi.
Hujan menutupi semua kesakitan dan kepedihanku di masa-masaku yang kelam. Dan hujan pun bilang padaku bahwa “rasa sakit hanyalah sekedar perasaan, itu menandakan kalau kau hidup”. Benar! Aku Hidup!
Lalu saat aku dan sang hujan telah asyik bermain. Tiba-tiba sang hujan pun mengucapkan selamat tinggal padaku. Lho? Aku kan masih ingin bermain denganmu, tapi hujan hanya bilang bahwa akan ada yang menggantikannya yaitu pelangi. Hal itu mengundang pertanyaan. Pelangi? Seperti apa ya?
Sepeninggal hujan kini aku terdiam sendiri… padahal aku masih menyukai sang hujan! Hidup memang tidak adil!
Tapi beberapa lama kemudian ada cahaya yang terpancar, bukan satu warna, bukan dua warna melainkan 7 warna yang sangat indah.

          “hi…aku pelangi” sapanya lalu aku menjabat tangannya sambil melempar senyum.
Hatiku sangat gembira ternyata setelah hujan sang pelangi menungguku dengan 7 warnanya yang cerah, kini aku tidak ingin lagi mengatakan “aku ingin kembali ke masa lalu” karena aku ingin terus maju untuk menjalani hidup ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar