Ketika itu aku sedang dihadapkan oleh suatu pilihan
yang dilematis, aku sendiri nggak mengerti apa yang dikatakan mereka untuk itu.
Aku rasa ini ada kaitannya denganku, terhadap impian dan cita-citaku. Pertama apa
yang harus aku pilih antara Matahari dan Hujan. Aku berpihak pada matahari
sedangkan yang lain merekomendasikan hujan. Aku memilih matahari karena aku
memang menginginkan matahari, aku sudah susah payah untuk menggapai matahari
masa iya harus aku lepaskan matahari untuk mengejar sang hujan?
Mesin waktu! Aku butuh Mesin Waktu untuk memundurkan
waktu agar aku tidak terkait dengan pembicaraan seperti ini!
Aku gengsi untuk
memilih sang hujan. Mereka bilang tidak selamanya berada di pihak matahari itu
menyenangkan, meskipun matahari bersinar terang lama-kelamaan akan membakar dirimu.
Pilihlah apa yang berada dalam semangatmu. Walaupun bakatku berada pada hujan
tapi aku lebih memilih matahari. Tapi toh ternyata setelah aku renungkan tidak
terlalu buruk.
Pikiranku apa yang
akan terjadi setelah hujan merubah pola pikir dan pendapatku tentang sang
hujan, setelah hujan, menurut mereka akan ada pelangi yang indah dan menghiasi
angkasa dan mengundang decak kagum bagi sepasang bola mata yagn memandangnya
dan aku putuskan untuk berpindah pihak dan kini aku telah berada di pihak sang
hujan. Aku yakin ini adalah keputusanku, meskipun didahului oleh air mata yang
mengalir pada mataku aku yakin ini adalah suatu permulaan.
Berpihak pada hujan
tidak terlalu buruk, aku bisa menagis tanpa ada yang melihatku. Sedangkan saat
aku berpihak pada matahari, semuanya terekspos jelas kalau aku sedang menangis .
Aku memandangi
hujan yang terjatuh dari kediaman Tuhan.
Mengapa hujan
itu begitu hening? Mereka hanya
mempertegas kesunyian pada lorong-lorong hidup.
Tahun-tahun itu lewat dan bergumam melalui
celah-celah hujan yang berdesir jatuh dari tempat yang asing.
Tempat yang
ingin sekali kukunjungi.
Hari itu dingin.
Seperti hari-hari sebelumnya jika hujan datang dan menyapa setiap kelelahan
yang ditukarkan setiap napas.
Aku mendesah.
Hujan itu masih
mengalir. Tanpa kusadari, aku telah berada di luar, begitu dekat dengan
keberadan sang alam yang tengah bernyanyi dalam keheningan waktu.
Hujan itu begitu
deras. Ia menyimpan berjuta-juta memori yang terlepas dan terhanyut dari
jiwa-jiwa yang terhilang.
Mengapa hujan itu begitu hening?
Aku tidak pernah tahu.
Aku melihat kakiku melangkah dalam kesunyian
jaman. Mendekati sang hujan yang masih merangkak merampasi bulir-bulir impian
yang diterbangkan angin.
Begitu banyak kepedihan, begitu banyak
kesakitan.
Aku tidak pernah memahaminya.
Kemudian aku dan hujan itu saling menyapa.
Kami berjabat tangan dan saling menukar senyum.
Walau senyum yang ada di wajahku bukanlah
sebuah garis yang menyenangkan, tapi hujan itu berkata ia menyukaiku.
Aku tiba-tiba juga menyukai sang hujan.
Kami bercengkrama.
Waktu yang dingin bergayut lembut.
Mengalir melalui lorong-lorong yang abadi.
Hujan menutupi semua kesakitan dan kepedihanku di
masa-masaku yang kelam. Dan hujan pun bilang padaku bahwa “rasa sakit hanyalah
sekedar perasaan, itu menandakan kalau kau hidup”. Benar! Aku Hidup!
Lalu saat aku dan
sang hujan telah asyik bermain. Tiba-tiba sang hujan
pun mengucapkan selamat tinggal padaku. Lho? Aku kan masih ingin bermain
denganmu, tapi hujan hanya bilang bahwa akan ada yang menggantikannya yaitu
pelangi. Hal itu mengundang pertanyaan. Pelangi? Seperti apa ya?
Sepeninggal hujan kini aku terdiam sendiri… padahal
aku masih menyukai sang hujan! Hidup memang tidak adil!
Tapi beberapa lama kemudian ada cahaya yang
terpancar, bukan satu warna, bukan dua warna melainkan 7 warna yang sangat
indah.
“hi…aku
pelangi” sapanya lalu aku menjabat tangannya sambil melempar senyum.
Hatiku sangat gembira ternyata setelah hujan sang
pelangi menungguku dengan 7 warnanya yang cerah, kini aku tidak ingin lagi
mengatakan “aku ingin kembali ke masa lalu” karena aku ingin terus maju untuk
menjalani hidup ini!